Kasus korupsi bukan lagi hal asing bagi kita. Setiap hari ada saja pejabat yang ditangkap karena korupsi atau suap. Apa memang benar di Indonesia, korupsi sudah jadi bagian budaya? Kasus terbaru adalah ditangkapnya hakim agung Makamah Konstitusi, Patrialis Akbar oleh KPK atas dugaan menerima suap. Ironisnya, penangkapan pejabat-pejabat tinggi negara ini sudah tidak lagi mengejutkan masyarakat. Sudah dianggap sebagai kelumrahan bahwa yang namanya politisi itu memang selalu bermain uang dan tidak bisa memegang mandat rakyat.
Meski banyak berita penangkapan, proses hukum penanganan kasus korupsi di Indonesia sepertinya tidak bisa diharapkan. Koruptor seringkali tidak pernah menjalani masa hukumannya secara maksimal. Entah karena jaksanya juga mudah disuap atau berbagai keringanan yang sering ‘dihadiahkan’ pemerintah, hukuman korupsi di negeri ini tampaknya tidak bisa membuat efek jera. Kalau di negara-negara lain, bagaimana ya metodenya menghukum koruptor? Yuk disimak bersama…
1. Cina memang dari dulu sudah terkenal paling keras menangani korupsi. Meski zaman sudah modern, eksekusi hukuman mati di depan umum masih dilakukan untuk koruptor
Sejak Xi Jinping menjadi Presiden Cina di tahun 2013, hukuman mati diberlakukan untuk semua pelaku korupsi tanpa terkecuali. Tak peduli apakah dia petugas biasa ataukah pejabat tinggi, jika tertangkap korupsi maka konsekuensinya nyawa. Sejak saat itu, ribuan orang sudah menjalani eksekusi yang beragam bentuknya. Mulai dari ditembak di tempat kusus hingga ditembak di depan umum. Liu Zhijun, mantan Menteri Perkeretaapian termasuk yang dieksukusi mati karena kasus korupsi dan suap. Sementara Zhou Yhongkang, mantan pejabat tinggi negara, kini mendekam di penjara untuk menghabiskan sisa hidupnya. Pemerintah Cina berkeyakinan hanyalah hukuman terberat seperti eksekusi mati dan penjara seumur hidup yang bisa membuat koruptor jera.
2. Di Korea Utara, eksekusi hukuman mati bagi koruptor sungguh sadis. Salah satu korbannya adalah paman Kim Jong-Un sendiri
Meski banyak yang menerapkan hukuman mati bagi terpidana korupsi, tapi eksekusi ala Korea Utara ini mungkin yang paling bikin ngeri. Tahun 2013 lalu, Kim Jong-Un mengeksekusi pamannya sendiri, Jang Song-Thaek yang dikenai sejumlah tuduhan yaitu mulai dari korupsi hingga merencanakan kudeta. Setelah tewas ditembak, tubuh Jang Song-Thaek dijadikan makanan untuk anjing kelaparan dan dipertontonkan di depan seluruh pejabat negara. Tapi di Korea Utara, penerapan hukuman mati sangatlah ambigu. Tak hanya terbukti korupsi, tertidur saat meeting atau membantah kata-kata Kim Jong-Un juga bisa membuat seseorang berakhir di meja eksekusi.
3. Berbeda dengan saudaranya, Korea Selatan menerapkan hukuman pengucilan untuk para pelaku penggelapan uang
Untuk penegakan hukum, pelaku korupsi di Korea dihukum dengan penjara dan dikucilkan dari masyarakat serta keluarga. Hukuman sosial di Korea Selatan memang seringkali lebih berat daripada konsekuensi legalnya. Ambilah contoh mantan Presiden Korea Selatan Roh Moo Hyun, yang tersangkut kasus korupsi. Karena tak tahan menahan rasa malu, Roh akhirnya bunuh diri dengan menerjunkan diri dari atas bukit. Hukuman sosial inilah yang kiranya kurang tertanam di Indonesia.
4. Hukuman penjara, denda, hingga diusir dari negara adalah hukuman yang kamu dapat bila korupsi di Amerika Serikat
Amerika Serikat tidak punya badan khusus penanganan korupsi seperti KPK, juga tidak percaya akan hukuman mati karena alasan hak asasi. Koruptor biasanya diganjar ancaman hukuman penjara minimal 5 tahun dan denda 2 juta Dollar. Tapi pada kasus tertentu, ancaman untuk dideportasi ke negara lain juga bisa diterapkan kepada para koruptor. Meski tergolong negara maju, dugaan korupsi di dalam pemerintahan juga masih sangat tinggi.
5. Di Jerman, koruptor diharuskan mengembalikan semua hasil korupsi. Lalu menghabiskan sisa hidupnya di tahanan
Korupsi memang tidak hanya ada di Indonesia, tapi juga negara-negara maju di Eropa. Transparansi di Jerman sangatlah tinggi, tapi kasus-kasus korupsi yang berbentuk penyuapan masih juga terjadi. Sama seperti Amerika, Jerman juga tidak mempunya lembaga khusus yang mengurusi korupsi. Seseorang yang terbukti korupsi, akan mendapat hukuman seumur hidup dan diwajibkan mengembalikan seluruh uang yang sudah dikorupsi.
6. Selain terkenal dengan budaya harakiri, Jepang juga punya budaya malu seperti Korea Selatan. Disamping hukuman masyarakat, koruptor merasa wajib menghukum dirinya sendiri
Secara hukum, kasus korupsi di Jepang hanya akan diganjar dengan hukuman maksimal 7 tahun. Jepang juga tidak punya undang-undang yang khusus korupsi. Tapi diluar hukum, budaya malu dan harakiri lebih kuat untuk mengatasi persoalan korupsi. Saat seorang pejabat terbukti melakukan korupsi atau terlibat suap, pengacara akan membujuknya untuk mengundurkan diri jabatan dan mengembalikan semua yang sudah ‘diambil’ dari negara. Tapi karena ‘budaya malu’ ini, banyak koruptor di Jepang yang kemudian memilih bunuh diri. Bandingkan dengan koruptor di Indonesia yang tak punya malu dan bebas saja melenggang bagai terhormat.
7. Meski sedikit terdengar kejam, hukuman ‘qisas’ atau pancung yang berlaku di Arab Saudi membuat orang jera
Hukum yang berlaku di Arab Saudi adalah syariat Islam. Hukuman bagi seorang pencuri adalah potong tangan. Tapi korupsi berbeda dengan pencuri. Korupsi adalah bentuk kriminal yang lebih berat daripada sekadar mencuri. Karena itu, hukumannya juga jauh lebih berat. Untuk koruptor, hukuman mati sudah menanti. Berbeda dengan eksekusi hukuman mati Cina dengan cara ditembak, di Arab Saudi hukuman mati dilakukan dengan qisas, alias pancung atau dipenggal. Inilah yang membuat hukum ini terlihat kurang manusiawi, meskipun intinya sama-sama hukuman mati.
8. Sementara di Indonesia? Paling lama hanya 15 tahun penjara. Itu juga masih dapat remisi dan bebas melenggang ke layar kaca
Mungkin kamu heran mengapa setelah berdirinya KPK sejak tahun 2002, berita korupsi sama seringnya dengan jadwal tayang sinetron stripping di TV. Bagaimana tidak? Hukuman bagi para koruptor masih sangat longgar. Maksimal hanya 20 tahun penjara, itu juga sedikit sekali yang diterapkan sampai akhir. Bahkan banyak pula yang hanya didakwa dua atau tiga tahun saja. Itu belum seberapa. Atas nama kelakuan baik dan berbagai remisi demi remisi yang didapatkan, hukuman yang tadinya 15 tahun bisa berakhir dengan 4 tahun saja. Dan di penjara belum tentu juga hidupnya menderita. Coba tengok Gayus Tambunan, yang meski dipenjara masih bisa pelesiran.
Meskipun dari segi badan hukum kita lebih baik karena punya lembaga tersendiri yang mengurusi kasus korupsi, nyatanya pemberantasan korupsi masih jauh dari harapan. Pasalnya hukum terkesan lemah dan tidak bisa membuat jera. Dengan segala remisi, terpidana korupsi bisa keluar lebih cepat dari penjara, melenggang bebas, tampil di layar kaca, dan bahkan mencalonkan diri jadi pejabat lagi. Kurang enak apa lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah dan beri masukan